SASTRA.QLEE.XYZ - Di sebuah kompleks perumahan yang kecil namun penuh dinamika, Dewan Tetangga mengadakan pertemuan besar untuk membahas satu topik sederhana: renovasi taman. Kompleks ini hanya memiliki satu taman yang ukurannya bahkan tak lebih besar dari lapangan bulutangkis, namun bagi para penghuni, taman itu bak Monumen Nasional—kebanggaan dan pusat berkumpul warga.
Rapat dimulai di aula kecil di samping taman. Ketua Dewan, Pak Herman, pria berusia 60-an yang selalu berambisi "memajukan kompleks," membuka pertemuan dengan penuh semangat. "Warga yang terhormat, saya ingin kita semua menyatukan visi untuk membangun taman ini agar menjadi lebih indah dan bermanfaat bagi kita semua. Tentu, saya berharap pertemuan ini berjalan lancar dan damai."
Pak Herman tampak optimis, padahal para penghuni di kompleks itu sangat terkenal dengan perbedaan pandangan mereka yang kaku, terutama karena blok yang mereka tinggali. Blok A, misalnya, dianggap sebagai "elite intelektual" karena diisi oleh pensiunan pegawai negeri, akademisi, dan mantan pejabat, sedangkan Blok B yang isinya warga lebih muda sering dianggap kurang pengalaman dan terlalu "idealis." Sementara itu, Blok C? Blok C adalah perwakilan warga "tidak mau ribet" yang biasanya hanya ikut-ikutan asal tidak ribet dan sesuai keinginan mereka.
Pak Herman melanjutkan, "Rencananya kita akan membuat taman ini memiliki gazebo, jogging track, dan area bermain anak-anak. Mari kita bahas dan tentukan bersama!"
Bu Rini dari Blok A langsung mengangkat tangan. "Pak Herman, saya setuju taman kita harus dibuat cantik, tapi ingat, area jogging track itu sebenarnya untuk siapa? Kami, warga Blok A, jarang jogging. Justru kami butuh ruang untuk berkumpul bersama komunitas membaca dan diskusi. Saya usul gazebo besar untuk diskusi warga."
Seketika warga dari Blok B, terutama Pak Rudi yang dikenal sebagai aktivis, tidak terima. "Wah, Bu Rini, ini kan taman umum. Masa iya seluruh taman mau dijadikan ruang diskusi? Bagaimana dengan hak anak-anak muda dan anak-anak kecil yang butuh ruang aktif? Saya usul lebih banyak alat fitness dan lapangan basket kecil untuk olahraga."
Bu Rini mendengus kesal. "Lapangan basket? Ini taman, bukan stadion! Kalau kalian mau main basket, ya di luar sana, jangan di sini!"
Pertemuan yang awalnya damai berubah jadi adu argumen antar blok. Pak Herman berusaha menenangkan, namun seperti biasanya, setiap suara hanya makin menambah riuh.
Pak Tono dari Blok C yang biasanya pasif, kali ini ikut angkat bicara. "Kalau saya sih simpel saja, kenapa harus repot? Taman ini sudah cukup baik, tinggal diperindah saja sedikit. Kenapa kita harus menambah fasilitas yang bikin pusing?"
Pak Rudi langsung menanggapi, "Lho, justru itulah gunanya rapat ini, Pak Tono. Masa kita biarkan taman ini jadi tempat nongkrong saja? Harus ada kegiatan yang bermanfaat!"
Bu Siska dari Blok B pun ikut menyuarakan pendapatnya, "Saya juga setuju. Taman ini kan bisa jadi tempat olahraga sekaligus tempat sosialisasi. Masa taman cuma diisi untuk kumpul komunitas? Jangan lupa, kami yang muda juga punya hak di sini."
Blok A dan Blok B kini seperti perang terbuka. Saling tunjuk dan berdebat, seperti sedang berkampanye untuk kursi pemilu. Ada yang mulai menyindir soal kepentingan masing-masing blok, yang satu mengaku lebih berpengalaman, sementara yang lain menuduh blok sebelah terlalu kolot dan tidak pro-rakyat.
Pak Herman, yang mulai pening dengan perdebatan ini, mencoba mencari solusi. "Baiklah, bagaimana kalau kita buat taman ini terbagi jadi dua bagian? Satu bagian untuk kegiatan diskusi dan satu bagian lagi untuk olahraga."
Namun ide itu tak kunjung meredam konflik. Blok A merasa dibagi dua berarti mengurangi ‘kekuasaan’ mereka di taman, sedangkan Blok B merasa tidak diberi cukup ruang. Blok C yang tadinya adem ayem, sekarang mulai gerah karena takut kehilangan tempat favorit mereka untuk nongkrong.
Bu Sri, warga Blok C yang terkenal blak-blakan, akhirnya bersuara. "Kalau begini, mending kita voting saja! Tiap blok punya hak suara, biar adil."
Suara Bu Sri langsung disambut antusias oleh semua warga, tapi masalahnya, setiap blok merasa perlu suara lebih banyak karena mereka yakin merekalah yang paling tahu apa yang terbaik. Suara mulai beradu lagi, semua merasa paling pantas didengar.
Di tengah kekacauan ini, datanglah si Pak RT yang terkenal sering mendamaikan warga. Pak RT ini bukan anggota Dewan Tetangga, tapi warga senior yang paling dihormati karena selalu netral. Dengan tenang, ia mengambil mikrofon dari tangan Pak Herman dan berbicara.
"Begini saja, warga sekalian. Kalau kita semua mau terus berdebat, tidak akan ada ujungnya. Jadi saya punya usul yang paling netral dan tidak berat sebelah," katanya dengan senyum.
"Bagaimana kalau kita tanyakan saja pada generasi penerus kita?" lanjut Pak RT. "Anak-anak kecil yang akan banyak menghabiskan waktu di taman ini. Mereka lebih jujur, dan lagipula, taman ini untuk mereka juga, kan?"
Warga terdiam. Setelah beberapa saat, satu per satu setuju. Ternyata, solusi Pak RT cukup cerdas dan tidak memihak. Jadi mereka pun memanggil beberapa anak dari kompleks untuk memberi pendapat.
Seorang anak kecil bernama Doni maju, didampingi teman-temannya. "Menurut kami sih, taman ini bagus kalau ada perosotan besar, ayunan, dan tempat main layang-layang. Kalau ada gazebo buat orang tua juga boleh, asal gak bikin kami kehabisan tempat main."
Permintaan sederhana anak-anak itu membuat warga dewasa tersenyum. Bu Rini akhirnya angkat bicara lagi, "Baiklah, kita fokus saja pada fasilitas dasar yang bisa membuat taman ini nyaman untuk semua. Tidak perlu bikin yang rumit-rumit."
Akhirnya, rapat berakhir damai. Setiap blok merasa puas, meski sempat bersitegang. Mereka setuju untuk membangun taman dengan perosotan, ayunan, jogging track kecil, dan gazebo yang tidak terlalu besar, seperti keinginan anak-anak.
Pak Herman, yang sejak tadi menggeleng-gelengkan kepala, menutup pertemuan dengan mengucapkan terima kasih. "Ingat, rapat ini adalah bentuk demokrasi kita. Jangan sampai taman kecil ini membuat kita pecah. Dan ingat juga, taman ini akan jadi taman kita bersama."
Sejak hari itu, taman kompleks mereka berubah. Meskipun perdebatan antar blok mungkin akan terus ada, setidaknya mereka berhasil melewati ujian pertama mereka sebagai tetangga: pertemuan yang awalnya tegang kini berubah menjadi bahan canda.
Dan kini, setiap sore, mereka bisa melihat anak-anak kecil bermain bersama di taman baru mereka. Warga Blok A, Blok B, dan Blok C duduk di gazebo, tertawa bersama, sambil diam-diam berbisik, "Untung rapat selesai dengan damai, kalau tidak, kita masih berdebat sampai sekarang."